"Dalam Hujan Aku Mencintaimu"
Bismillahirrahmanirrahiim…… Fajar menyingsing sempurna. Keindahan itu tak
sebanding dengan bahagianya hati ini mencintai Dema. Mungkin itulah, mengapa
ALLAH menegurku. Setiap hati ini mengingat Dema begitu dekat, Tuhan selalu
menegurku. Entahlah…, aku tahu ALLAH itu pencemburu. Makanya, kerap aku jalan
dengan Dema, ALLAH menyambutnya dengan hujan. Cemburukah ALLAH pada Dema?
Mungkin lelaki itu terlalu besar memiliki ruang di hatiku. Sisanya baru ALLAH.
Agaknya, ALLAH tak mau kuberi ruang sisa. Ia selalu menegurku dengan hujan,
saat hati ini sangat mencintai Dema. Aku tak habis pikir pada ALLAH, mengapa
semarah itu melihat kedekatanku dengan Dema. Apa salahku dan Dema? Suatu pagi,
Dema membuatkan aku susu. Sementara badanku masih lelah bekas begadang semalam.
“Selamat pagi, Sayang…!” sambut Dema sambil mengecup keningku. Aku tersipu
melihatnya telah siap berangkat kerja. Padahal aku belum sempat menyeterika
baju kerjanya, belum sempat menyiapkan sarapan untuknya, bahkan aku sendiri
belum siap apa-apa. Masih terbaring di tempat tidur dengan rona sangat malas.
“Sayang, maaf…” “Ssst…kamu tidur saja. Nih, aku buatkan susu biar kamu ada
tenaga. Baik-baik di rumah ya, Sayang, suamimu ini pergi sejenak mencari emas
buat makan,” kata Dema sembari mengecup keningku lagi. Senyumnya bak telaga
yang menghangatkan jiwa. Tangannya yang kasar berbanding terbalik dengan
sentuhan yang kurasakan. Begitu lembut. Dema tak pernah banyak menuntut. Ia
suami yang sangat bertanggung jawab. Itulah sebab mengapa aku amat mencintainya,
mungkin dengan porsi yang sangat berlebihan sehingga ruang di hati ini tak
begitu banyak menyimpan. Pun cinta yang kutanam bersama Dema, berbunga di hati
kami berdua. Tapi, tidak bagi orang lain, termasuk di mata orang tuaku. Mungkin
bunga itu kering dan berguguran di mata mereka. Ya, Dema memang hanya seorang
pekerja kasar. Sementara aku hanya bisa mengandalkan hidup dari hasil menjual
tulisanku. Itu pun tak tentu. Kehidupanku dan Dema bagai dua sisi mata uang
yang terkadang berubah-ubah. Sedih dan senang. Sedih kusebut hujan, dan senang
kunamai fajar sempurna. Secara ekonomi, aku lebih sering bertemu hujan
dibanding fajar sempurna. Namun fajar sempurna sering aku jumpai dalam gairah
hidup. Aku senang jika bersama Dema, walau dalam kondisi apapun. Dema memiliki
gairah hidup yang tinggi. Meski dari awal, orang tuaku tak pernah setuju jika
aku menikah dengan Dema, tapi itu tak membuat cintaku pudar dan keputusanku
surut untuk berlayar menuju bahtera bahagia bersama kapal yang kami buat
bersama. Dan kapal itu kunamai perahu emas. Dema nahkoda dan aku adalah
perahunya. Perahu akan turut kemana nahkoda membawanya pergi bukan? Terkadang
badai di tengah perjalanan sering hinggap, tapi Dema pantang menyerah, ia
selalu berusaha membawaku sampai pada tepi. Tepi yang kuinginkan untuk
bersandar. Dan aku begitu nyaman. Dari hujan, aku belajar mencintainya.
Mencintai suamiku dalam kondisi apapun. Dari tangannya yang kasar, dari
nafasnya yang lelah, dari pemberiannya yang emas. Dari hujan aku belajar
bagaimana untuk tersenyum, menjadi tegar, berkorban dan berbagi bersama Dema.
“Bagaimana kau bisa bahagia, Nak, jika kau hidup di rumah kontrakan yang sempit
ini? Keluarlah, kembalilah bersama kami. Hidupmu akan terjamin dengan fasilitas
mewah yang biasa kau dapatkan,” tutur ayahku di awal pernikahanku bersama Dema.
Benarkah ALLAH mengutuk anak yang memutuskan untuk menikah dengan pilihannya
sendiri? Benarkah pula, kemapanan yang dapat membeli kebahagiaan di dunia ini?
Benarkah… Ya ALLAH …, dengan hujan Kau menegurku, tapi dalam hujan aku semakin
mencintai suamiku. Tak bermaksud aku durhaka pada orang tua, jika alasan mereka
menolak Dema bukan karena Dema belum mapan, mungkin bisa kuterima. Tapi ini
lain…! Cintaku pada Dema kurajut dalam mimpi. Mimpiku dan Dema adalah
mempersembahkan perahu emas pada orang tua kami. Perahu itu dibalut oleh empat
komponen yaitu doa, ikhtiar, optimis dan tawakal. Perahu itu dirancang mewah
untuk menghadap ALLAH di tempat yang terbaik. Perahu itu akan membawa kami
bertemu di taman firdaus yang sering kami adukan pada ALLAH. Kami rela, dalam
perjalanan untuk mendapatkan itu kami sering kehujanan. Dan ALLAH tak pernah
tidur. Jika perahu emas kami diguyur ALLAH dengan hujan, Dema mengajariku untuk
sabar dan syukur. Itulah yang membuatku bahagia bersama Dema. Sebesar apapun
badai itu, kuyakin dapat kulalui dengan perahu emasku. “Ayah tak butuh perahu
emas. Tapi ayah butuh Dema bisa membahagiakanmu dengan rumah yang layak beserta
isinya. Apa itu salah?” Ayah kembali mengucilkan Dema di depanku. “Apalagi, sekarang
kamu sedang mengandung. Apa mau nanti anakmu terlahir di rumah kontrakan ini?
Dan melihat betapa hidup ini nestapa? Betapa dunia ini menyedihkan?”
Ayah…Aayah…, tiada anak yang mau menyengsarakan anaknya. Begitupun aku. Batinku
bertutur lirih, tanpa membuat bibir ini mengeluarkan kalimat itu di depan Ayah.
“Pulanglah, Nak. Melahirkan di rumah sakit saja dengan dokter keluarga yang
profesional.” Kali ini Ayah merajukku, serius. “Maaf, Ayah, ini adalah tanggung
jawab suamiku. Biarkan ia yang mengurus itu semua. Ayah tak usah khawatir…”
“Kamu memang keras kepala! Mau diajak hidup enak kok susah…” tukas Ayah ketus
sambil melengos pergi. Dan mungkin tak akan mengengokkan wajahnya lagi ke
belakang. Ayah… Ayah…, kau tak tahu bahwa saat ini anakmu amat bahagia. Tak
peduli rumah kontrakan, bagiku yang penting adalah rasa. Tak lama setelah Ayah
pergi tanpa salam, awan yang sedari tadi mendung kini membuncah dingin. Hujan
datang dengan deras disertai kilat yang menyala-nyala. Seperti biasa, jika
hujan datang, rumah kontrakanku selalu kebocoran. Bahkan kebanjiran. Rembesan
air bak sungai yang tampak nyata mengalir di sudut-sudut dinding. Aku sibuk
sendiri menyiapkan ember agar rembesan itu tidak membanjiri lantai. Namun,
tiba-tiba perutku amat mulas dan sakit sekali, seperti akan ada yang mendorong
bayiku keluar. Bahkan bayiku pun ikut berontak di dalam perut, hingga rasanya
sangat kacau. Aku berteriak sekencang-kencangnya menahan nyeri yang teramat,
ketubanku pecah dan terlihat darah di sela-sela betis. Dalam panik, aku melirik
jam. Dema baru akan pulang satu jam lagi. Oh Tuhan… Gelap. Itulah yang aku rasa
saat beberapa waktu yang lalu. Tersadar, aku sedang berada dalam becak dalam
pelukan yang hangat. Kuraba tangan kasar itu, tak salah lagi, itu adalah Dema.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Tadi aku melihatmu terbaring di lantai
bersimpuh darah.” Aku tersenyum menyadari aku masih hidup. Dan melihat Dema di
sampingku. “Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,”
katanya sambil menciumi kepalaku. Rasanya ingin sekali mengatakan bahwa aku
amat tenang di sampingnya. Tapi mulas ini seakan mengunci rapat bibirku. Aku
hanya bisa mengerang kesakitan. “Arrrrrghhhh…” “Sayang…, sabar yah! Sebentar
lagi kita sampai.” Dema terus menggenggam erat tanganku. Sayang, aku
mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku
sembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Batinku berbisik dalam
sakit. Ya ALLAH…, kini aku sadar bahwa hujan-Mu bukanlah teguran. Dalam hujan,
rumah kontrakanku banjir, tapi Dema selalu tersenyum menghadapi itu. Itulah
yang membuatku kuat. Kini dalam hujan, ia membawaku berjuang menghadapi hidup
dan mati mempertahankan bayi ini. Itulah yang membuatku yakin bertahan. Dan
hujan, kerap meninggalkan jejak basah di hatiku, serupa gerimis yang mengalir
pelan di pipiku saat itu.
Penulis: Itara Azkiya Dikutip Dari Majalah Annida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar